Hai, sudah kenalkan? Saya Deni. Sebelum melanjutkan cerita perjalanan, saya perlu ingatkan kembali, untuk kamu yang menyimak ini, kamu boleh tidak setuju dengan saya.
Mari kita lanjutkan perjalanannya.
Sejak kecil, saya selalu bertanya-tanya apa sebenarnya yang saya inginkan? Kenapa harus begini, kenapa harus begitu.
Saya berimajinasi tentang banyak hal dengan mudah, seakan saya tau apa yang saya inginkan dan apa yang ingin saya jalani. Tanpa berpikir banyak tentang requirement yang dibutuhkan untuk mewujudkannya, tanpa berpikir juga soal mungkin atau tidak mungkin. Simple.
Contohnya:
- Saat SD saya ingin jadi ksatria baja hitam, jadi power ranger yang punya peran membasmi kejahatan dan menjaga perdamaian.
- Saat SMP saya ingin jadi anak-anak terpilih yang dapat partner Digimon untuk menyelamatkan dunia. Setelah itu berubah lagi ingin menjadi Legenda pemersatu bangsa karena main game suikoden dengan mengumpulkan 108 pahlawan bintang yang ditakdirkan (star destiny).
- Saat SMA ingin jadi penyiar radio karena keren aja bisa ngomong sendiri dipenuhi ide untuk bisa membuat pendengarnya betah dan nyaman berlama-lama mendengarkan. Ingin punya seragam karate yang kesannya keren, akhirnya untuk beli harus gabung ekskul tapi ga mau ikut ujian kenaikan sabuk, jadilah punya julukan pendekar sabuk putih abadi.
- Saat kuliah di bidang IT inginnya punya kerjaan di rumah bisa santai bangun siang, banyak main, tapi kerjaan tidak terganggu. Pengen jadi penemu/AI yang dapat memiliki fleksibilitas seperti manusia (karena bagi saya manusia sih harusnya jauh lebih fleksibel ketimbang AI, mesin, atau robot).
- Saya belajar hypnosis karena ngerasanya keren bisa menghipnosis orang cuma modal mulut dan kata-kata (tadinya mau sulap, tapi setelah riset alat sulap mahal). Pada saat itu belum tahu bahwa hypnosis punya manfaat yang lebih jauh daripada sekedar main-main yaitu hypnotherapy.
- dan masih banyak keinginan-keinginan lainnya.
Beranjak dewasa, dunia api menyerang. Dunia seolah-olah mengajarkan saya bahwa semua yang saya inginkan itu tidak mungkin terwujud.
Pelan-pelan saya mulai percaya apa kata dunia. Saya mengikuti pedoman nilai “baik-pantas-wajar” yang berlaku. Dan tibalah saya di keresahan saya yang ada di tulisan sebelumnya.
Saya yakin, harusnya bukan hanya saya yang mengalami hal seperti ini. Mungkin banyak orang yang mengalami namun tidak menunjukkannya.
Terlebih banyak orang sudah memilih mengubur dalam-dalam impiannya, karena merasa “terlalu mustahil”, “terlalu beda”, dan “tidak mungkin diterima”.
Saya yakin setiap orang pasti berharap bisa meraih mimpi dan keinginannya. Karena jika diperhatikan ada sebagian orang yang bisa menyadari dan berani lalu kemudian menjalaninya, tapi ada juga sebagian lain yang mengalami kesulitan.
Jalan saya pun tidak mulus. Pasti ada konsekuensi dan tantangan dari setiap pilihan.
Project saya menyongsong hidup seperti yang saya mau tidak selalu berhasil. Beberapa upaya project ada yang gagal, mati sebelum berkembang, sudah berhasil tapi akhirnya harus tutup, bahkan sampai beberapa kali merasakan pahitnya bangkrut dan keuangan minus.
Satu hal yang paling saya ingat adalah kebangkrutan setelah beberapa minggu menikah. Dimana istri saya masih bekerja berbeda kota, ya saya mengalami beberapa bulan Long Distance Marriage.
Pada saat itu, istri saya sudah hamil dan keadaan saya malah bangkrut. Boro-boro mulai hidup berumah tangga dengan ideal, yang ada selama keadaan bangkrut tadi saya merasa hina karena bahkan uang rokokpun dibiayai oleh istri saya yang masih kerja saat itu (shout out dan apresiasi untuk istri saya yang hebat).
Apa yang saya lakukan? Nongkrong bersama teman perjuangan di sebuah warung sambil duduk merokok memandang langit setiap habis ashar sampai maghrib. Berpikir mencari inspirasi apa yang bisa saya lakukan ke depannya.
Momen itu justru malah menjadi momen titik tolak yang mengantarkan saya sampai saat ini. Saya sangat bersyukur.
Aktivitas nongkrong di sore hari tanpa kopi tadi mengajak saya untuk kembali melihat hal-hal apa yang saya senangi, hal-hal apa saja yang dulu ingin saya lakukan, mimpi-mimpi saya.
Sebagian orang menamai apa yang mereka ingin lakukan dalam hidup sebagai cita-cita, mimpi, passion, atau tujuan hidup. Bebaslah.
Saya diajak untuk menapaki kembali tujuan hidup saya.
Saya percaya bahwa tujuan hidup, mimpi, atau apapun itu istilahnya bukanlah hal klise yang hanya dipercayai oleh anak kecil. Tujuan hidup adalah bluprint diri kita, manual book kita, landasan untuk setiap langkah, aktivitas, kerjaan, dan apapun yang kita lakukan.
Ketika yang kamu bisa percaya bahwa segala yang memang selaras dengan bluprint dirimu akan lebih mungkin untuk diwujudkan. Itu akan terasa lebih mudah.
Sebelum masuk ke persoalan detail tentang tujuan hidup, saat itu saya sadar ada 2 hal inti yang saya butuhkan untuk melanjutkan pencarian dan perjalanan. Keberanian dan tidak berhenti.
Satu pemikiran pada “Apa Kita Merasakan Hal yang Sama?”